Home » » Makalah KRITIK SASTRA

Makalah KRITIK SASTRA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Teori Kritik Sastra pada Periode Pujangga Baru

   
Periode 1931 – 1940 merupakan periode terintegrasinya sastra Pujangga Baru meskipun diantara tokoh – tokohnya sudah ada yang menulis sebelum tahun 1930, seperti Muhammad Yamin dan Sanusi Pane. Akan tetapi, baru sesudah terbitnya majalah Pujangga Baru pada bulan Juli 1933, para sastrawan pendukung sastra Pujangga Baru terhimpun sehingga corak Pujangga Baru menjadi tegas dan dominan.

    Meskipun pada akhir tahun 1930-an dan beberapa tahun sesudahnya ciri sastra Pujangga Baru mulai melemah karena mulai tampak ciri sastra sesahnya, tidak berarti para sastrawan Pujangga Baru berhenti menulis karya sastra dan hal – hal sekitar sastra. Diantara tokohnya yang tetap menulis, bahkan sampai tahun 60-an dan 70-am. Misalnya J.E. Tatengkeng dan Sutan Taksir Alisjahbana. Oleh karena itu, pembicaraan kritik sastra periode Pujangga Baru itu tidak terbatas pada karya – karya kritik yang terbit antara 1931 – 1940 saja, tetapi juga karya – karya kritik para sastrawan Pujangga Baru yang terbit sesudahnya yang menunjukkan corak atau ciri – ciri pikiran Pujangga Baru.

    Pada periode Pujangga Baru, tulisan – tulisan yang dapat digolongkan bercorak kritik sastra, baik yang bersifat teori maupun terapan, kian nyata dan kian banyak. Diantara tokoh – tokoh adalah Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Armijn Pane, J.E. Tatengkeng. Disamping mereka, masih ada beberapa yang lain. Akan tetapi, merekalah yang menonjol diantara para sastrawan Pujangga Baru. Sesuai dengan aliran romantisme yang mereka anut, pada umumnya orientasi sastra mereka adalah ekspresif meskipun corak pragmatik Balai Pustaka masih kuat berakar juga. Salah seorang tokoh pentingnya, Sutan Takdir Alisjahbana, nada dasar kritiknya bahkan berorientasi pragmatik meskipun agak lain dengan corak progmatik Balai Pustaka.

    Tokoh – tokoh yang dasar orientasi kritik sastranya bertipe ekspresif adalah Sanusi Pane, Armijn Pane, dan J.E. Tatengkeng. Disamping itu, pada akhir tahun tiga puluhan timbul tipe kritik prakmatik yang berbeda dengan kritik Sutan Takdir Alisjahbana, yaitu teori kritik Soetan Sjahrir yang bercorak realisme sosialisme.
    Sudah dikatakan di depan bahwa pada umumnya para sastrawan Pujangga Baru menulis kritiknya dalam majalah Pujangga Baru. Akan tetapi, sebelumnya juga sudah ada yang menulis di majalah Panji Pustaka, misalnya Sutan Takdir Alisjahbana. Tulisan kritiknya yang pertama dimuat berturut – turut di Panji Pustaka sejak Th. X, 29 Nevember 1932 (hlm. 1507) sampai dengan Th. XI, No. 24, 24 Maret 1933 (hlm. 375 – 376) berjudul “Menuju Kesusastraan Baru”.

    Pada periode Balai Pustaka Pujangga Baru, ada sebuah artikel berjudul “Kritik Kesusastraan” dalam rubik “Memajukan Kesusastraan” majalah Panji Pustaka (Th. X, 5 Juli 1932, hlm. 838 – 839). Artikel itu ditulis oleh pengasuh (redaksi) ruang sastra itu tanpa nama penulisnya. Akan tetapi, dapat diduga bahwa penulisnya Sutan Takdir Alisjahbana, sesuai dengan keterangan Balfas (1971:1). Ia mengatakan bahwa mulai maret 1932 Panji Pustaka membuka kolom berjudul “(untuk) Memajukan kesusastraan” dibawah redaksi Sutan Taksir Alisjahbana.

    Dapat dikatankan “Kritik Kesusastraan” itu merupakan teori kritik sastra Indonesia yang ditulis (dinyatakan) secara eksplisit, betul – betul merupakan teori kritik sastra (Indonesia Modern), tidak hanya seperti Nota Rinkes yang bersifat aturan umum untuk buku yang akan diterbitkan oleh Balai Pustaka, termasuk buku sastra.

    “Kritik Kesusastraan” sebagai teori kritik sastra Indonesia modern yang awal dapat dikatakan memuat teori kritik agak “lengkap”  , yaitu memuat pengertian kritik, guna kritik sastra, sifat kritik yang baik, dan syarat – syarat bagi seorang kritikus (yang baik). Dapat dikatakan “Kritik Kesusastraan” itu merupakan peletak dasar teori kritik sastra Indonesia Modern, terutama tentang pengertian sastra dan guna kritik sastra. Dasar – dasar teori kritik itu kemudian diikuti oleh J.E. Tatengkeng, diteruskan oleh H.B. Jassin, dan disampaikan dengan teorik kritik sastra Indonesia modern sekarang.

    Guna kritik sastra itu untuk mendidik pembaca, bagaimana membaca buku dan bagaimana membedakan yang baik dan yang buruk. Begitu juga dengan adanya kritik itu si pengarang dapat mengambil teladan darinya. Ia menjadi tahu dimana cacat dan dimana baiknya. Dengan demikian, pengetahuannya itu berguna bagi tulisan atau karyanya yang kemudian.

    Dikemukakan bahwa seorang ahli kritik itu seolah – olah kapitan yang menuntun jalan  yang ditempuh pada suatu masa selaras dengan semangat zaman itu, sedangkan para sastrawan menuruti jalannya (Cf. Jassin, 1959:44).
  1. Kritik yang baik adalah kritik yang membangun, tidak hanya menghancur-remukkan saja, tetapi menunjukkan juga yang baik dan berfaedah. Bila karangan memang baik, kalau perlu harus dipuji setinggi – tingginya. Akan tetapi, kritik yang baik tidak hanya memuji saja. Yang penting syarat kritik sastra yang baik itu ialah menunjukkan jalan kepada para pujangga muda supaya menjadi pujangga besar pada masa yang akan datang.
  2. Dikemukakannya (1932, hlm. 838-839) bahwa kritik harus berdasar atas kebenaran, yaitu yang benar harus dibenarkan meskipun datangnya dari pihak lain, perhubungan sehari – hari jangan dicampuradukkan (Cf. Jassin, 1995:45).
  3. Seorang tukang kritik itu haruslah seorang pujangga, yang sekurang -  kurangnya sama derajat dengan pujangga yang menghasilkan karangan itu (Cf. Jassin, 1959:46).
  4. “Yang terang ialah bahwa untuk menjadi kritikus harus ada bakat seniman sedikit banyaknya sebab jiwa seniman hanya bisa dimengerti oleh orang yang juga mempunyai bakat seniman”. Pandangan seorang tukang kritik tentang aliran dan seluk beluk kesusastraan harus lebih lebar dan dalam. Sorang tukang kritik itu menghidupkan kembali yang dibacanya, seolah – olah sekian perasaan yang tercurahkan dalam karangan itu perasaan aslinya sendiri (1932, hlm. 839) (Cf.Tatengkeng, 1938, hlm. 39-40). Jadi, disini tampak orientasi ekspresif, mengembalikan karangan sebagai curahan perasaan dan intensi pengarang yang asli.


BAB II
PEMBAHASAN
TEORI KRITIK SASTRAWAN PUJANGGA BARU

A.    Teori Kritik Sastra Armijn Pane
Corak tipe kritik ekspesif pertama kali tampak tegas dalam tulisan Armijn Pane yang berjudul “Sifatnya Kesusastraan Baru” dalam Pujangga Baru Th.I, No.1, Juli 1933, dimuat kembali dalam Indonesia, Th. III, No. 8, Agustus 1952, hlm. 18 – 23. Hal ini mengingat bahwa kritik ekspresif telah juga ditulis St. Takdir Alisjahbana (1932, hlm. 1507:1977:16) pada tahun 1932 seperti telah tersebut didepan, tetapi Takdir tidak merumuskan teorinya itu. Didalam tulisan Armijn dikemukakan konsep (estetik) sastra baru yang mencerminkan tipe oriental sastra kritik ekprensif seperti telah terlihat dalam judul fasal pertama : “Seorang hamba seni yang sejati adalah hamba sekmanya”. Dikemukakannya bahwa jika barang yang berada diluar badan sastrawan hendak terlukis, maka haruslah bersinar dulu pada kaca sukma yang kemudian menyinarkan cahaya bentuk barang itu keluar (1933:1952, hlm.18). Meskipun demikian, sastrawan juga hidup didalam masyarakat, ia adalah gambaran masyarakat itu. Akan tetapi gambaran masyarakat itu hanya berarti oleh sukmanya itu sebab sastrawan adalah hamba sukmanya (1933:1952, hlm.19). Pengaruh antara masyarakat dan seniman itu timbal balik. Dalam arti, bahwa dalam karya sastra pengarang akan tampak perubahan masyarakat. Sebaliknya dalam setiap masyarakat corak seni akan menunjukkan perbedaannya dengan corak seni waktu lain (1952. Hlm.19). Hal ini disebabkan oleh adanya para sastrawan yang merupakan “hamba sukmanya”. Meskipun ada macam – macam corak karya sastra pengarang dalam satu kurun waktu, tetapi mereka itu sama, semuanya mencari jalan baru untuk menyatakan gelombang sukmanya dan cahaya pikirannya (1933:1952, hlm.20). Adanya bermacam – macam corak itu disebabkan oleh para sastrawan tersebut akan mencari bentuk dan perkataan yang cocok dengan sukma dan pikirannya, yang mencerminkan masyarakat tempat hidupnya (1952, hlm.20).

Disimpulkan Armijn Pane bahwa seorang pujangga yang sejati seninya, yang bersuara menurut perasaan sukmanya, adalah menyatakan perjuangan bangsanya dan keadaan bangsa di zamannya. Demikian juga dalam wujud (bentuk) seninya, semuanya itu ditentukan oleh paksaan sukmanya, maka hal – hal yang tidak sesuai dengan hal itu, seperti peribahasa masa lalu, dibuang digantikan peribahasa sendiri, kiasan sendiri yang timbul dari dalam sukmanya tanpa dicari – cari lebih dahulu. Semuanya harus sesuai dengan apa yang hendak dinyatakan itu (1933:1952, hlm.21).

Dikemukakan pula bahwa pujangga bukan hanya semata – mata cermin masyarakat, zaman dan alam. Ia adalah individu yang berdiri sendiri, yang mempunyai kekhasan. Keadaan masyarakat, zaman dan alam yang hendak dilukiskan itu dicampur dengan perasaan dan pikirannya. Keadaan individu para pujangga itulah yang menyebabkan perbedaan diantara mereka (1933:1952, hlm.22). Karena adanya pengaruh timbal balik antara masyarakat dengan pujangga, Armijn Pane (1952, hlm. 23) berkata sebagai berikut.

Kami bukan abdi seni  yang hanya bersifat seni utnuk seni semata – mata, tetapi kami abdi yang sebagai salah satu alat, harus mengabdikan diri kepada masyarakatnya.

Selanjutnya, dikemukannya bahwa setiap zaman, masyarakat, dan alam menimbulkan corak yang khusus bagi semua pujangga sebagaia nak masyarakat pada zamannya. Yang lebih penting lagi adalah isi karya sastra, sedangkan rupa dan bentuknya hanya penolong untuk menyatakan dan menarik perhatian kepada isinya. Meskipun demikian, rupa dan bentuknya tidak boleh diabaikan sebab isinya tidak akan berharga jika rupa dan bentuknya tidak sepadan dengannya.

Sebagai penutup pembicaraannya dikemukakannya bahwa berhubungan dengan keadaan individu pujangga, tidak boleh orang membandingan karya sastranya semata – mata berdasarkan perasaan dan pikiran sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya pujangga yang dibandingkan (dikritik karya sastranya) itu sendiri menjadi ukuran, sebab dialah yang menjadi cermin masyarakat dan zamannya, maka individunya tidak akan tersia – siakan (terabaikan). Yang harus diutamakan adalah benar – benar sajak (karya sastra) pujangga itu menyatakan sukmanya atau tidak, mencerminkan sukmanya dengan secepatnya atau tidak. Tentu saja, pendapat Armijn itu sukar dibuktikan sebab bagaimakah orang tahu karya sastranya itu sesuai dengan sukmanya atau tidak. Orang hanya tahu teks sastranya saja, tidak tahu niat dan sukma pujangga.

Teori kritik Armijn Pane tersebut menjadi dasar kriteria untuk kritik ataupun pembicaraan sastra Pujangga Baru dalam bagian II, III, IV, dan V dalam nomor – nomor Pujangga Baru yang terbit berikutnya.

B.    Teori Kritik Sastra J.E. Tatengkeng
Selain penulis “Kritik Kesusastraan”, sastrawan yang mengemukakan teorik kritik sastra dengan istilah “Kritik Sastra” adalah J.E. Tatengkeng dalam esainya yang bejudul “Pengelidikan dan Pengakuan”. Dalam esainya itu tercermin tipe orientasi sastra yang ekspresif seperti teori kritik sastra Armijn Pane. Di dalamnya diuraikan pengertian kritik sastra, tujuannya (maksudnya) dan fungsinya.

Oleh karena biasanya dalam istilah kritik dalam penggunaan sehari – hari terkandung pengertian merusakkan, mematikan, dan caci maki, maka pada mulanya Tatengkeng lebih suka mempergunakan istilah Penyelidikan dari pada istilah Kritik kesusastraan. Dalam esainya itu Tatengkeng tidak menerangkan arti kritik secara  eksplisit, tetapi dari maksud (guna) kritik sastra yang dikemukakan secara implisit tercermin pengertian itu, yaitu penyelidikan terhadap karya sastra. Yang jelas dikemukakannya adalah guna kritik sastra. Dikemukakannya pentingnya kritik sastra  atau guna kritik sastra yang dinyatakan sebagai “maksud penyelidikan kesusastraan” ada dua macam. Pertama, kritik sastra untuk memberikan penerangan dan kedua, kritik sastra untuk memberi nasihat.

Yang pertama, sebagai penerangan, ditunjukkan kepada orang yang mencintai kesusastraan, yaitu para pembaca buku kesusastraan. Dengan penerangan penyelidikan kesusastraan ini, pembaca dapat belajar melihat, mendengar dan merasa lebih dalam kalau ia membaca buku karya sastra. Membaca karya sastra bukan hanya pengisi waktu kosong saja, melainkan untuk mendapatkan lukisan kehidupan, yang didalamnya pembaca mencoba hidup, merasakan senyum dan sedihnya kehidupan. Penyelidikan sastra atau kritik sastra mengajarkan kepada pembaca untuk melihat dan mengerti sukma orang – orang yang dibacanya dan sukma pengarangnya sendiri.

Guna kritik saran yang kedua adalah bagi pengarang atau pujangganya sendiri. Dengan adanya kritik sastra, pengarang dapat melihat kekurangan dan kenguatkan dirinya dalam hal – hal yang masih lemah. Selanjutnya menurut Tatengkeng, kritik besar sekali gunanya bagi pengarang yaitu sebagai petunjuk jalan baginya, dalam arti kritik sastra membuat pengarang dapat menulis lebih baik dengan usaha sendiri, bukannya berarti ia harus mencontoh saja cara orang lain mengarang. Dengan hal demikian itu, kritik sastra berguna untuk memperkembangkan dan bertumbuhnya kesusastraan baru.

Kritik sastra tidak lepas dari teori seni. Oleh karena itu, dikemukakan oleh Tatengkeng apakah seni itu. Tatengkeng mengemukakan pendapat – pendapat para sastrawan romantik Belanda tentang seni. Para sastrawan romantik tersebut diantaranya Van Deyssel dan Bilderdijk. Teori mereka itu berdasarkan orientasi sastra ekspresif yang kemudian diikuti Tatengkeng sebagai dasar atau sebagai kriteria untuk mengkritik sajak – sajak selanjutnya. Pendapat – pendapat itu sebagai berikut.

Seni adalah kegairahan (Van Deyssel) : Seni adalah ekspresi yang paling individual dan emosi yang paling individual (Kloos). Disimpulkan oleh Tatengkeng bahwa dalam definisi – definisi itu terpancar semangat hidup dan membawa orang untuk menyelam ke dalam sukma. Oleh karena itu menurut Tatengkeng seni adalah gerakan sukma. Ucapannya itu dijadikan motto kumpulan sajaknya Rindu Mendalam. “Seni bahasa” adalah “ gerakan sukma yang menjelma ke dalam kata”. Ucapan ini menjadi baris terakhir sajaknya “Sukma Pujangga” : “Kusuka hidup! Gerakan sukma, Yang berpancaran dalam mata, Terus menjelma, Ke Indah Kata.” Sajak (karya sastra) yang bernilai seni adalah sajak – sajak (karya sastra) yang merupakan gerakan sukma. Tatengkeng mengutip sajak Willem Kloos dan sajak – sajak yang ditulis oleh para pujangga Indonesia. Diantaranya Or.Mandank,A.M. Dg.Mijala, dan Sanusi Pane. Sajak – sajak mereka bernilai seni karena merupakan gerakan sukma, sedangkan syair – syair, diantaranya tulisan Baginda Saleh (Syair Seribunian dan Selendang Delima) dan  A.Dt.Madjoindo (Syair Si Banso Urai) karena bukan timbul dari sukma yang bergerak, maka tidak ada semangat dan keindahannya, jadi bukan seni. Dengan demikian, teori penilaian Tatengkeng adalah teori absolutisme.

Dalam kesimpulan, berdasar uraian itu, dikemukakan Tatengkeng bahwa pujangga dalam menaungkan isi jiwanya dalam lagu dan bunyi (maksudnya sajak, Pen) haruslah bebas, merdeka, jangan diikat oleh ikatan lain.

Dalam esai yang berjudul “Criteik”, berdasarkan pandangan seni dan orientasi sastranya yang bersifat ekspresif, J.E. Tatengkeng mengemukakan bahwa kritik sastra adalah pertemuan kritikus dengan jiwa pujangga. Dalam kritikannya seorang kritikus bertemu dengan diri sastrawan.

C.    Teori Kritik Sastra Sanusi Pane
Aliran sastra romantik biasanya mendasarkan penciptaannya sebagai curahan atau pancaran jiwanya. Oleh karena itu, pada umumnya karya sastra mereka bersifat liris, merupakan curahan perasaan dan pendapat pribadi. Konsep seni pada umumnya adalah “Seni untuk Seni” yang menekankan sifat seninya dan yang lain – lain. Demikianlah, pada mulanya Sanusi Pane menyatakan kriteria sastranya dalam sebuah sajaknya yang liris. Kriteria itu menjadi dasar penciptaan sastra dan kritiknya sendiri pada saat penciptaannya. Sanusi Pane mengikuti aliran rimantik, maka ia menciptakan puisi – puisi liris sesuai dengan “mode” zaman dan alirannya berupa soneta dan puisi liris lainnya. “Bentuk” merupakan salah satu kriteria yang penting dalam menimbangkan sajak adalah bentuknya, terlihat dalam bait I sajaknya yang berjudul “Sajak” dalam Puspa Mega terbit 1927.
Di mana harga karangan sajak,
Bukanlah dalam maksud isinya,
Dalam bentuk, kata nana rancak,   
Dicari timbang dengan pilihnya.

“Maksud isi” ini merupakan kriteria pragmatik yang mementingkan tujuan. Oleh karena itu, untuk mementingkan pernyataan jiwanya yang liris yang penting adalah wujud pernyataanya, pilihan kata yang bagus, bukan isinya. Sifat seni sajak lebih ditentukan bentuk dan isinya. Para sastrawan romantik bersemboyan “seni untuk seni” yang merupakan konsep seninya. Akan tetapi, rasanya bentuk itu kurang tepat sebagai wujud pernyataan jiwa dan sukmanya. Oleh karena itu, dalam teori romantik yang penting adalah suara jiwa itu sendiri meskipun sifat seni diutamakan. Karena itu, pandangan ini kemudian diubah dalam sajaknya yang berjudul ”Sajak” juga dalam bait pertama.
O, bukannya dalam kata yang rancak,
Kata yang pelik kebagusan sajak
O, pujangga, buang segala kata
Yang ‘kan cuma mempermainkan mata,
Dan hanya dibaca selintas lalu,
Karena tak keluar dari sukmamu,

Menurut teori ekspresif, sukma sastrawan itu merupakan lampu yang  menerangi alam sekitarnya, oleh karena itu, sukma pujangga Sanusi Pane adalah matahari yang menerangi bumi seperti tampak dalam bait kedua “Sajak”-nya tersebut.
Seperti matahari mencintai bumu
Memberi sinar selama – lamanya.
Tidak meminta sesuatu kembali
Harus cintamu senantiasa.

Jadi, menilik kedua sajaknya tersebut, orientasi kritik sastra Sanusi Pane adalah ekspensif. Dia lebih mengutamakan sukma dan kata hatinya sendiri dari pada lainnya, seperti juga pikiran Tatengkeng. Berdasarkan kriteria semacam itu, ia menciptakan dan menimbang karya sastranya. Dia lebih mengutamakan seninya dari pada tujuan sastranya sehingga semboyannya adalah “seni untuk seni”, seperti Tatengkeng juga. Demikianlah ia menciptakan karya sastranya, salah satu diantaranya adalah drama Sandhyakala ning Majapahit. Karya ini kemudian dikritik Sutan Takdir Alisjahbana dalam satu bab novelnya Layar Terkembang. Dikatakan bahwa drama ini merupakan karya yang melemahkan semangat para pemuda Indonesia meskipun bernilai seni. Atas kritik Takdir itu ia menulis esai “Sikap Aesthetish”.

Sanusi Pane menerangkan lebih lanjut bahwa pujangga harus menyatukan semangat dengan dunia dan kemanusiaan, setidak – tidaknya pada saat penciptaan karya seni. Dengan demikian, ia tidak setuju dengan individualisme yang hidup dalam diri sendiri seperti dianjurakan Willem Kloos. Karena pujangga menyatukan dirinya dengan dunia dan kemanusiaan, suka duka, tujuan dan cita – cita, kekhawatiran dan harapan dunia semuanya hidup dalam dirinya, tidak lagi terukur dengan ukuran susila dari luar. Pujangga tidak memikirkan susila dan guna hasil seninya karena ia mengatasi segala susila dan segala maksud. Menurut Sanusi Pane, susila dan maksud hanya ada selama pujangga merasa dirinya terpencil dari dunia kemanusiaan. Penyatuan diri pujangga dengan dunia dan kemanusiaan disebut Sanusi Pane sebagai Unio Mystica. Oleh karena seni terjadi dalam Unio Mystica dan Collectivisme dalam persatuan dunia dan kemanusiaan, maka hasil seninya berupa seni untuk seni, tetapi artinya sudah lain dengan semboyan individualis.

Pandangan Sanusi Pane tentang Unio Mystica lebih dijelaskan lagi dalam esai jawaban atas sanggahan St. Takdir yang menuduh Sanusi Pane bermain Luxe Sport. Esai tersebut berjudul “Jagat Besar dan Kecil”. Diantaranya yang penting dikemukakan adalah bahwa orang yang menuju Unio Mystica dalam jasad besar dengan sendirinya harus menuju Collectivisme. 

Konsep estetik Sanusi Pane terus dipertahankan sampai karyanya yang terakhir, yaitu Manusia Baru (1940). Tampaknya konsep estetikanya itu kontradiktoris dengan kenyataan bahwa drama Manusia Baru itu mengemukakan masalah tentang buruh dan majikan. Di dalamnya Sanusi Pane memberikan penyelesaian pertikaian itu secara “pragmatik”. Hal ini seperti sastra yang bertujuan (pragmatik, tendenz leteratuur). Jadi, tampaknya kontradiktoris kalau Sanusi Pane berkata dalam pengantarnya sebagai berikut.
Lakon ini mesti ditonton sebagai hasil seni saja. Kalau orang menarik pelajaran juga daripadanya, dan itu bukan sebenarnya maksud pengarang karena ia hendak memberi seni saja.

Pernyataan Sanusi Pane itu harus dipahami dengan konsep estetiknya, unio mystica, Manusia Baru itu merupakan pelaksanaannya, yaitu pada saat penciptaannya ia manyatukan diri dengan masyarakat, menyatukan jagad kecil dengan jagad besar. Ia hidup ditengah masyarakat dengan segala persoalan dan cita – citanya. Dengan demikian, ia tidak merasa berpropaganda dan tidak mempergunakan karya sastra sebagai alat untuk mencapai tujuannya.


   

0 comments:

Post a Comment